December 11, 2008

Why I do believe in Jesus

Posted in christian, Uncategorized at 10:00 pm by nggy

Orang percaya sangat berbeda dengan orang beragama. Itu lah mengapa saya tidak memberi judul “Mengapa saya beragama Kristen” atau “Mengapa saya menjadi seorang Kristiani”. Saya memilih judul “Why I do believe in Jesus” (mengapa saya sangat mempercayai Yesus), karena saya bukan hanya orang beragama, tapi saya adalah orang percaya. Saya tidak bermaksud menganggap remeh orang beragama, namun saya hanya ingin berusaha menampakkan perbedaan antara orang percaya dan beragama, karena saya sendiri pernah menjadi orang beragama yang bukan merupakan orang percaya.

Saya dilahirkan dari keluarga besar yang menganut berbagai macam agama. Keluarga dari papa saya semuanya beragama katolik fanatik. Sedangkan keluarga mama saya ada yang beragama katolik, ada yang budha, dan ada yang tidak beragama namun mengakui adanya Tuhan (dan saya tidak tahu, aliran apa ini). Mama papa saya beragama katolik, sehingga otomatis sejak lahir saya sudah dibaptis bayi dan dibesarkan dalam agama katolik. Sekolah saya sejak TK merupakan sekolah Katolik, dan teman – teman saya mayoritas katolik. Jadi saya berkembang di lingkungan katolik.

Saya pun bertumbuh menjadi anak yang rajin beribadah. Saya aktif terlibat dalam kegiatan – kegiatan gereja. Ketika saya SD hampir setiap minggu, saya bertugas menjadi misdinar atau lektor, memimpin doa novena, dll. Saya pun menjalankan setiap sakramen yang diajarkan gereja. Kelas 4 SD saya menerima sakramen komuni pertama.

Hingga akhirnya beranjak SMP, saya mulai berubah menjadi anak yang sedikit bandel. Saya terlibat dalam gangster sekolah yang tampaknya “berkuasa”. Namun saya tidak pernah dihukum guru, karena saya selalu menyelesaikan tanggung jawab saya dengan baik. Prestasi saya di sekolah sangat baik, dan saya selalu bisa mencari celah untuk tidak melanggar peraturan sekolah. Ibadah pun masih rajin saya jalankan. Bahkan saya juga menerima sakramen krisma. Prinsip saya saat itu “bandel ga papa, asal bandel yang bertanggung jawab”.

Kerajinan saya untuk beribadah bergeser akibat hobi berpikir saya. Saya mulai berpikir apa manfaat saya beribadah ini. Toh, pulang dari gereja pun saya juga tidak merasa mendapatkan apa – apa. Daripada ke gereja untuk misa, saya bisa menggunakan waktu 2 jam itu untuk hal lain yang lebih berguna menurut saya. Dari situ lah saya mulai menjadi seorang katolik “NaPas” (Natal Paskah). Saya pergi ke gereja pada saat natal atau paskah saja, itu pun karena dipaksa ikut oleh mama atau koko saya. Saya pun juga berpikir apa tujuan hidup saya, kenapa saya bisa ada di dunia, dan pertanyaan – pertanyaan seputar kehidupan lainnya. Sayangnya, saya berusaha mencari jawabannya dengan terus berpikir dan berakhir tanpa hasil karena saya menyerah untuk mengerti pikiran saya yang semakin ruwet. Untuk berdoa pun, saya memilih cara saya sendiri. Saya tetap berdoa pada Tuhan Yesus. Namun saya juga tetap tidak rajin datang misa. Kehidupan rohani saya hanya berupa doa sebelum tidur (merupakan doa untuk mengajukan list permintaan saya) dan mendengarkan lagu rohani di radio, jika tidak ada acara lain yang menurut saya bagus.

Hidup saya mengalir seperti itu hingga saya SMA kelas 1. Awal saya naik kelas 2 SMA, saya menjadi panitia MOS (Masa Orientasi Sekolah), dan memplonco siswa baru. Di situ, saya menemukan seorang siswi yang menjadi target saya untuk saya marah – marahi. Di mata saya, siswi itu “sok” dan tidak sepantasnya siswi kelas 1 boleh “sok” terhadap senior. Namun akhirnya mau tidak mau saya berteman juga karena kami satu tim basket.

Suatu hari, siswi ini mengajak saya dan teman – teman satu ekskul untuk datang ke acara BBQ. Berhubung teman – teman yang lain ikut, dan saya sudah berkali – kali menolak ajakannya, saya pun datang karena perasaan sungkan. Sampai di sana saya menyadari bahwa acara itu merupakan persekutuan atau kelompok sel. Saya pun menanggapinya dengan biasa saja. Karena dari awal saya bukannya benci terhadap ibadah, tapi hanya merasa useless saja. Selama ibadah itu memberikan sesuatu bagi saya, saya pun dengan senang hati mengikutinya. Ternyata dari komsel itu, saya bisa belajar banyak hal. Akhirnya dari waktu ke waktu saya terus datang di komsel itu dan hidup saya mulai diubahkan secara perlahan.

Jika ditanya kapan saya bertobat, atau menerima Yesus sungguh – sungguh, saya tidak pernah bisa menjawab secara pasti. Karena itu tadi, saya tidak bertobat dari KKR atau altar call apapun. Saya pun lupa kapan pertama kali saya kembali menemukan alkitab saya yang biasanya hanya terpakai saat ujian agama, kapan saya mulai berdoa setiap hari, saat teduh setiap hari. Sampai suatu hari saya menyadari pentingnya mengalami pertumbuhan rohani, dan mulai tertarik untuk datang ibadah.

Perjalanan rohani saya tidak kemudian berjalan mulus. Di masa awal – awal pertobatan saya, saya sering diberitahu teman – teman saya yang lain bahwa gereja tempat saya biasa ikut komsel ini adalah gereja sesat. Saya pun berusaha mencari tahu, apa sesatnya gereja ini. Saya mendesak teman – teman saya itu untuk memaparkan mengapa gereja ini sesat. Dan saya pun tidak puas dengan jawaban mereka. Ada yang bilang, gereja ini saat ibadah menggunakan lampu par dan lampu sorot. Mereka menganggap ini sesat, karena gereja tampak seperti diskotik, bukankah gereja seharusnya mencerminkan suasana khidmat dan kudus. Jawaban pertama saya tolak mentah – mentah. Jawaban kedua, gereja sesat mirip dengan narkoba. Untuk membuktikan apakah gereja ini sesat, kita tidak perlu mencobanya, karena sekali kita mencobanya, kita tidak bisa keluar lagi. Teman saya yang ini pun kemudian menawarkan saya untuk beribadah di gerejanya. Karena jawaban gereja sesat = narkoba ini, saya sedikit khawatir dan kemudian berniat untuk ikut ke gereja teman saya yang ini. Namun ternyata, saya mendapati di sana saya tidak bisa bertumbuh, saya merasa ibadah hanya ajang kumpul – kumpul, senang – senang dengan teman, itu saja.

Di benak saya saat itu, saya harus menemukan jawaban yang sungguh – sungguh benar. Saya sangat ingin tahu apakah kepercayaan yang akan saya anut ini benar atau tidak. Saya juga sangat ingin memastikan tempat ibadah yang akan saya pilih haruslah yang paling benar. Saya sempat merasa bingung karena tidak ada pedoman atau patokan yang menurut saya pasti paling benar. Jika prinsip jurnalistik mengatakan “Tell the true not the truth”, saya justru sangat ingin mendapatkan “the truth” itu dan bukan hanya apa yang “true”. Namun saya berpikir semua patokan atau pedoman, aturan, pengetahuan apapun yang ada di dunia ini dibuat oleh manusia sehingga saya tidak dapat memastikan “Tuhan” mana yang paling benar. Menurut pemikiran saya, Tuhan manapun memiliki peluang yang sama besar untuk menjadi yang benar karena saya tidak memiliki pedoman apapun untuk menguji kebenaran “Tuhan – Tuhan” tersebut.

Sampai suatu saat (dan saya juga lupa tepatnya kapan, karena semua perubahan saya merupakan proses dan bukan satu titik), saya menyadari apa yang disebut iman. “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1). Saya mulai berpikir bahwa saya menjadi “orang percaya” semata atas dasar “percaya”. Jika saya bisa menguji kebenaran “Tuhan – Tuhan” yang ada, apa bedanya saya dengan Tuhan yang Mahatahu. Kemudian tiba – tiba banyak ayat yang secara mencolok bermunculan di depan mata saya. “Kemuliaan Allah ialah merahasiakan sesuatu”(Amsal 25:2), “sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna”(1 Kor 13:12), dsb. Timbul kekaguman yang luar biasa dalam diri saya saat saya membaca alkitab. Ternyata ada banyak hal di dunia yang tidak saya temukan di buku, website atau apapun di dunia, namun saya temukan di Alkitab. Firman ini lah yang kemudian membawa saya untuk menjadi orang yang percaya, tanpa saya harus bisa membuktikan kebenaran itu secara lengkap dan menyeluruh. Saat itu jika saya ditanya “mengapa saya percaya pada Yesus?”, saya hanya bisa menjawab “Saya percaya karena saya percaya dan tahu Yesus adalah Tuhan yang benar, dan karena Alkitab mengatakannya seperti itu. Saya percaya Alkitab adalah satu – satunya pedoman yang benar yang dapat saya percayai”. Namun dalam hati, saya masih berkeinginan untuk menemukan bukti – bukti yang cukup logis mengapa Tuhan Yesus adalah Tuhan yang benar.

Dari kepercayaan bahwa Alkitab adalah satu – satunya pedoman yang benar, saya mulai membandingkan segala pengetahuan yang pernah saya dapat dengan ayat – ayat di Alkitab. Prinsip saya saat itu, bagaimana caranya, yang penting setiap ilmu pengetahuan harus cocok atau sesuai dengan apa yang tertulis di Alkitab. Jika ada ketidakcocokan antara apa yang dikatakan Alkitab dengan ilmu pengetahuan, saya akan menganggap ilmu pengetahuan yang salah. Saya menemui banyak perbedaan antara ilmu pengetahuan dan Firman, namun saya tidak menjadi goyah dalam meyakini Alkitab karena prinsip saya tadi. Ilmu pengetahuan lah yang memiliki potensi untuk salah, karena Alkitab 100% benar.

Saya merasa jika saya memiliki hati yang benar – benar tulus untuk mengenal Dia, Tuhan pasti akan tunjukkan jalan yang benar. Dari situlah saya kemudian menjalani hidup saya dengan hikmat yang Tuhan beri. Di suatu titik, saya mulai capek untuk memikirkan pertanyaan – pertanyaan yang timbul dalam pikiran saya, entah itu mengenai ketidakcocokan ilmu pengetahuan dengan Alkitab, atau ayat – ayat yang tampaknya kelihatan kontroversi satu dengan yang lain. Saya tidak menemukan jawabannya dengan mudah dan ini membawa saya untuk berkata pada Tuhan “Ya sudah Tuhan, saya tahan dulu pertanyaan – pertanyaan saya ini, saya percaya Tuhan sendiri yang akan memberikan jawabannya sesuai dengan waktuNya”. Saya sadar dengan kekuatan pikiran saya sendiri atau bahkan orang lain, saya tidak bisa menemukan jawaban – jawaban yang memuaskan. Akhirnya saya sempat berhenti mempertanyakan segala sesuatu. Namun ternyata saat saya tidak mencurahkan segala energi saya untuk mencari tahu kebenaran – kebenaran itu, Tuhan malah memberikan jawaban – jawaban yang memuaskan. Itu pun dengan cara yang simpel, seperti khotbah pendeta, atau bahkan dari percakapan – percakapan biasa.

Iman saya semakin bertambah sejalan dengan perjalanan hubungan saya yang semakin dekat dengan Tuhan. Saya mulai membangun hubungan saya dengan Tuhan menjadi hubungan yang benar – benar akrab. Saya bercakap – cakap dengan-Nya sepanjang waktu. Saya tidak lagi menemui-Nya saat saya sedang melakukan sikap doa. Definisi saya tentang doa berubah total. Saya bisa berdoa saat saya makan, saat saya mandi, bahkan apapun aktivitas saya, saya tetap bisa “connect” dengan-Nya. Saya mempercayakan hidup saya pada-Nya mulai dari yang terkecil. Dan saya merasa Dia adalah Tuhan yang “All in one”. Tuhan bisa menjadi guru matematika saya, Tuhan bisa menjadih dokter saya, bahkan Tuhan bisa menjadih pelatih basket saya. Dari hubungan ini, saya bisa memastikan bahwa Tuhan yang saya anut adalah Tuhan yang benar.

Jadi intinya, alasan saya mempercayai Yesus yang terpenting adalah perjumpaan pribadi saya dengan-Nya. Di dalam hadirat-Nya, saya semakin diteguhkan bahwa saya tidak bisa menegelak bahwa Tuhan Yesus adalah satu – satunya Allah yang benar. Dan saya tidak tahu faktor apa yang menyebabkan saya tidak bisa mengelak. Saya berpikir perjumpaan saya dengan Tuhan tidak dapat dilegitimasi. Masalah perjumpaan seperti ini bagi saya subjektif sekali. Tidak ada ukuran yang bisa mengukur apakah perjumpaan saya ini benar membuktikan bahwa Yesus adalah Allah yang benar. Maka kemudian saya akan berusaha (namun tidak menjadi prioritas pertama bagi saya) untuk menemukan alasan – alasan logis yang bisa diterima orang lain. Saya tahu saya tidak dapat hanya berkata saya percaya Yesus karena saya mengalami perjumpaan pribadi dengan-Nya, dan itu yang meneguhkan saya. Bagi orang lain, jawaban seperti itu tidak bisa diterima dengan akal, sekalipun bagi saya memang itu faktor utama saya mempercayai Tuhan Yesus. Saya bukan orang percaya yang berangkat dari alasan – alasan logis baru mengalami hubungan yang intim dengan Tuhan. Saya orang percaya yang menjadi percaya karena perjumpaan pribadi dengan-Nya, baru lah sederetan alasan logis itu yang kemudian meneguhkan bahwa saya sedang tidak mempercayai Allah yang salah. Saya juga tidak menjadi percaya karena ajaran Alkitab. Saya malah baru mengenal Alkitab setelah saya percaya Yesus. Saya juga tidak menjadi orang percaya karena saya melihat keteladanan seorang rohaniawan, pendeta, pemimpin, dsb. Sekali lagi saya baru mengenal tokoh – tokoh agama setelah saya memutuskan untuk sungguh – sungguh mempercayai Yesus. Saya juga sudah memastikan bahwa kepercayaan saya pada Yesus bukan saja karena alasan psikologis. Saya sempat khawatir apakah yang saya sebut “perjumpaan pribadi dengan-Nya itu hanyalah pemuasan dari kebutuhan psikologis saya”. Saya merasa Tuhan itu sungguh luar biasa. Tuhan tau dengan cara apa Ia membuat saya bertobat. Saya tidak diijinkan bertobat di KKR atau altar call, yang memang suasananya sangat mendukung. Jika saya bertobat di tengah suasana yang “mellow” itu, saya meragukan bahwa saya akan bisa bertahan dalam mengikut Yesus. Saya percaya segala proses yang saya lalui dulu, yang bagi saya dulu tampaknya tidak penting justru mempengaruhi seluruh kehidupan saya. Saya pun percaya bahwa yang terjadi adalah Tuhan memberikan Roh-nya pada saya, dan saya juga diberi hati yang dapat mempercayai-Nya.

Apa alasan – alasan logis itu?

  1. Argumen – argumen bahwa Alkitab adalah benar

Saya sudah sedikit banyak mengulas mengenai bibliologi dalam tugas UTS saya. Alkitab adalah satu – satunya buku yang memiliki kontinuitas pengajaran yang luar biasa. Sekalipun ditulis oleh banyak orang dengan latar belakang, profesi, bahkan waktu yang berbeda, Alkitab konsisten dalam pengajarannya. Selain itu Alkitab dapat dibuktikan secara iptek, dan sebagian besar nubuatan dalam Alkitab sudah digenapi.

  1. Argumen mengenai perbandingan Tuhan (mana yang paling masuk akal)

Argumen – argumen mengenai Tuhan yang personal adalah Tuhan yang paling masuk akal dalam teori penciptaan manusia yang personal.

  1. Secara arkeologi dapat dibuktikan

Cerita sejarah mengenai kehidupan Yesus dapat dibuktikan kebenarannya. Dan cerita yang tertulis dalam Alkitab merupakan satu – satunya cerita yang paling komprehensif dalam menampakkan latar belakang sejarah, baik lokasi, situasi, kondisi, kebudayaan, tradisi, dsb.

KESIMPULAN

Sebenarnya faktor yang utama dan yang pertama membuat saya sangat mempercayai Yesus adalah faktor pengalaman, yaitu perjumpaan pribadi dengan-Nya. Faktor ini sekalipun tidak dapat dilegitimasi kebenarannya, namun bagi saya faktor ini yang paling meneguhkan saya bahwa Yesus adalah satu – satunya Tuhan yang benar. “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya”. (Yoh 20:29)

Faktor ini menurut saya sangat meneguhkan saya bahwa hanya Tuhan yang dapat mewahyukan diri-Nya. Saya berusaha keras mencari alasan logis untuk menjawab pertanyaan mengapa saya percaya, namun alasan logis itu hanya faktor sekunder yang meneguhkan perjumpaan pribadi yang tidak dapat dilegitimasi itu. Karena pikiran manusia tidak dapat membawa pengenalan yang sempurna akan kebenaran Yesus.

Allah adalah Roh, Firman adalah Roh dan kehidupan, maka Ia harus dipahami secara roh dan bukan hanya sekedar logika. Bukan berarti logika tidak penting, namun logika adalah faktor pendukung yang mengikuti dan bukan yang utama. Karena itu, saya menyembah Tuhan selain di dalam roh, juga di dalam kebenaran. Sama seperti yang saya tulis dalam tugas UTS saya, bahwa memiliki pengetahuan kognitif dan bertindak secara konkret haruslah seimbang. Saya pun tidak takut untuk menjadi goyah saat membaca argument – argumen logis yang mungkin berpotensi menggoyahkan iman, karena faktor utama saya bukan alasan logis. Jadi ketika muncul argumen – argumen logis yang bertentangan dan menyerang iman saya, saya tetap bertahan dalam mengikut Yesus karena faktor utama saya adalah (sekali lagi) perjumpaan pribadi dengan-Nya.